Akhirnya waktu yang saya tunggu-2 datang juga. Saya menunggu karena postingan saya pada kesempatan ini akan menampilkan foto-2 terindah ketika saya berada di Ranu Kumbolo. Ranu artinya danau. Danau ini terletak dalam jalur pendakian ke Gunung Semeru. Jadi walaupun kita berniat hanya melihat atau bermalam di danau ini, kita tetap harus ijin ke pos pendakian di desa Ranu Pani, desa terakhir sebelum Semeru.
Foto di samping adalah salah satu view yang diambil dari sisi timur Ranu Kumbolo atau Ranu Gumbolo. Unutuk sampai di danau yang eksotis ini, kita dapat berjalan kaki sekitar 3-4 jam atau menggunakan sepeda. Ingat sobat, artikel ini memberi efek samping pada pembacanya, yaitu “kepingin” alias ingin segera ke sana.
Sebelum sampai di pos pendakian Ranu Pani, jangan lupa untuk mengurus ijin di pos perhutani yang berada di kota Tumpang, Malang. Dua foto di atas adalah gapura yang bertuliskan “SELAMAT DATANG DI TAMAN NASIONAL BROMO TENGGER SEMERU”. Gapura ini pasti kita lewati ketika dalam perjalanan menuju pos pendakian Ranu Pani. Untuk menuju ke sana, sobat bisa menggunakan kendaraan pribadi atau menyewa jip yang mangkal di pasar Tumpang.
Jangan sekali-kali mengantuk atau bahkan tertidur karena sobat akan kehilangan pemandangan yang indah di kanan kiri jalan.
Akhirnya sampai juga kami di pos pendakian. Oh iya saya belum memperkenalkan siapa saja yang go with me. Seperti biasa saya, Ayah, Mas Heru, dan adik Mas Heru yang bernama Riska serta teman sekelasku IPA 1 SMAN 1 Gedeg Mojokerto, Erik.
Ini dia danau indah nan menawan hati Ranu Kumbolo. Sebenarnya masih banyak pengalaman kami ketika dalam perjalanan ke danau ini, tapi keadaan alam tidak memungkinkan karena hujan turun mengguyur sepanjang perjalanan.
Indahnya Ranu Kumbolo dengan backgorund dua bukit yang gagah. Maaf, pada waktu itu kami bangun terlambat sehingga matahari yang terbit di antara dua bukit itu terlewatkan. Suhu di sekitar danau ini berkisar antara 5-7 derajat celcius, cukup membuat sobat menaruh kedua tangan di dada. Bahkan suhu akan mencapai 0 derajat celcius di musim kemarau.
Ada yang mancing tuh. Memang kita bisa memancing di danau ini. Jadi, apabila sobat berhobi memancing dan ingin suasana baru, maka danau ini saya rekomendasikan.
Berhubung waktu itu adalah musim hujan, maka tidak banyak pendaki yang terlihat, mungkin hanya 10 tenda di sekitar Ranu Kumbolo. Angka ini akan berubah menjadi 30 kali apabila sobat mendaki pada tanggal 17 Agustus atau disebut dengsan hari kemerdekaan Republik kita tercinta Indonesia.
Foto di atas diambil dari dataran yang lebih tinggi, yaitu Tanjakan Cinta atau Bukit Cinta. Mengapa disebut demikian? Menurut kepercayaan beberapa orang, jika kita mendaki tanjakan cinta tanpa menoleh ke belakang (arah Ranu Kumbolo) dan kita memikirkan orang yang kita cintai, maka kemungkinan akan bersemi benih-2 cinta (ciye…puitis banget).
Setelah kami sampai di akhir Bukit Cinta, kami dihadapkan oleh indahnya ciptaan Allah. Oro-oro Ombo (3O/triple O) adalah padang rumput yang sangat luas. Untungnya kami di sana ketika musim hujan, sehingga rumput masih segar dan berwarna hijau.
Jika sobat sudah merasa ada efek samping karena foto-foto di atas, maka saya anjurkan untuk cepat-2 pergi ke sana. Jika belum, maka lihat foto-2 di bawah ini.
Letusan Semeru dapat kita saksikan dari area triple O ini.
Setelah kami puas berjalan-jalan, maka kami kembali ke Ranu Kumbolo di mana tenda kami berdiri. Di atas adalah foto situs peninggalan masa lalu yang berada di bawah tanjakan cinta atau di sebelah barat Ranu kumbolo. Sepertinya batu itu ada tulisannya, coba kita lihat lebin dekat.
Waduh ini sih tulisan “Aksara Jawa”, terkhir saya mendapat pelajaran ini sewaktu SMP.
Matahari mulai meninggi, kami harus segera pulang karena keesokan harinya kami harus melanjutkan kegiatan sehari-hari, yaitu bersekolah bagi saya, Riska, dan Erik, serta bekerja bagi Ayah dan Mas Heru.
Sebelum berangkat, foto dulu ah…
Melihat foto di atas jangan dipikir saya ambil dari tema dekstop komputer saya. Ini asli saya ambil dari kamera HP saya yang sudah beresolusi 2 megapixel. Sayangnya HP tersebut diambil orang tidak bertanggung jawab hikz…hikz…
Yang satu ini adalah salah satu jepretan terbaik terhadap Ranu Kumbolo (sepertinya sama seperti foto pertama). Sebenarnya saya ingin mencari foto yang asli tanpa ada tulisannya, tapi koq tidak ketemu.
Setelah melapor ke petugas pos pendakian bahwa kami sudah pulang, kami melanjutkan perjalanan kembali ke Mojokerto. Sebelum sampai pada gapura seperti foto yang ada di awal artikel ini, kami disuguhkan pemandangan sabana lereng Gunung Bromo yang berada di komplek Gunung Tengger.
Ini juga salah satunya. Indah bukan?
Sebelum meneruskan perjalanan, kami memutuskan untuk melihat Gunung Bromo. Namun, sayangnya cuaca tidak mendukung. Kabut mulai menebal dan hujan turun dengan malu-malu kucing.
Inilah akhir perjalanan saya di Semeru, tepatnya Ranu Kumbolo. Silahkan tunggu perjalanan saya di Semeru pada jilid berikutnya dan perjalanan saya yang lain.
Lestarikan alam Indonesia
Silahkan lanjut baca, jangan lupa komentarnya...
Thursday, 6 November 2008
Lawu, Gunung Penuh Mistis
Thursday, 6 November 2008 .
. Saya rasa tepat judul kali ini diberi nama seperti itu karena gunung yang menjadi perbatasan antara Jatim dan Jateng ini sering dikunjungi oleh orang-2 yang melakukan ritual. Apa tujuan mereka? Spertinya pertanyaan ini lebih baik dijawab oleh para pelakunya. Pada kesempatan ini saya akan menunjukkan beberapa foto yang berhasil dihimpun menggunakan kamera HP beresolusi 1,3 megapixel dan kamera pada PDA punya Ayah. Jadi mohon dimaklumi apabila beberapa foto tidak begitu jelas.
Cemoro Sewu, itulah jalur pendakian yang saya lewati bersama Ayah, Mas Heru, Mas Gatot, dan Mas Anas. Jalur yang masih berada di wilayah Jatim ini bersebelahan dengan jalur Cemoro Kandang yang berada di wilayah Jateng.
Untuk menuju kedua tempat ini, sobat bisa menuju ke tempat pariwisata Telaga Sarangan di Magetan, Jatim apabila sobat dari arah Jatim. Sayangnya kami tidak memiliki rencana untuk mengunjungi telaga tersebut, sehingga tidak ada koleksi fotonya.
Jika sobat memang berniat untuk mendaki atau sekedar berwisata ke daerah Cemoro Sewu atau Cemoro Kandang, maka jangan lupa untuk mencicipi sate kelinci yang khas. Kedua jalur tersebut berjarak tidak lebih dari satu kilometer, dan di depan serta diantara kedua jalur tersebut sobat bisa menikmati sate hewan pemakan sayuran tersebut di warung-2 pinggir jalan sambil menikmati pemandangan yang indah dan hawa dingin pegunungan.
Foto di samping diambil dalam perjalanan menuju puncak. Terlihat beberapa teman pendaki dari tim lain juga berusaha melewati jalur yang licin ini. Di jalur Cemoro Sewu ini, jalur sudah diberi fasilitas tatanan batu untuk memudahkan orang ritual, walaupun kami para pendaki tidak begitu suka dengan jalur yang sudah dimodifikasi.
Tidak seperti jalur Cemoro Kandang yang landai tapi panjang, jalur ini bersifat pendek tapi menanjak dan membutuhkan waktu 3,5-4 jam untuk mencapai puncak Hargo Dumilah, sebutan untuk puncak Gunung Lawu.
Berhubung kami sampai di puncak malam hari, maka langsung saja saya tampilkan foto di pagi hari. Foto tersebut adalah pemandangan yang indah dan asri di sekitar puncak Gunung Lawu.
Puncak Gunung Lawu berbeda dengan puncak Gunung-2 lain yang mengerucut, Gunung ini memiliki bentuk puncak yang panjang, sehingga sobat akan kebingungan untuk mencari daerah yang tertinggi. Untung saja ada penghuni warung yang memberitahu kita bahwa puncak berjarak 15 menit dari warung tersebut.
Tunggu, Tunggu, Warung??? Iya benar, di puncak Gunung ini kita bisa menemui warung yang menyediakan beberapa pengganjal perut. Salah satunya adalah warung milik Mbok Yem yang berlokasi paling dekat dengan puncak. Sebenarnya warung ini disediakan untuk para peziarah.
Jalur Cemoro Sewu ini memiliki beberapa keistimewaan salah satunya adalah memiliki banyak situs peninggalan kerajaan dahulu kala. Foto di atas adalah petilasan prabu Brawijaya V yang diberi nama Hargo Dalem.
Ini salah satu foto pemandangan juga yang berhasil kami jepret ketika dalam perjalanan pulang.
Kedua foto di atas adalah sumber air yang diberi nama Sendang Drajat. Jika sobat ingin melanjutkan perjalanan pulang, maka jangan lupa membawa air dari sini karena air akan kita dapatkan lagi ketika sampai di pos pendakian. Begitu juga apabila sobat mendaki, maka bawalah air dari pos karena air berikutnya akan ditemukan di sumber air ini.
Dalam perjalanan pulang, kami masih banyak menemukan situs-2 kerajaan seperti pada kedua foto di atas.
Foto-2 berikut ini kami ambil pada pendakian kedua kami. Kali ini saya berangkat bersama Ayah, Mas Heru, dan Mas Gemblung yang pernah berkenalan dan bertukar nomor HP dengan Ayah ketika bertemu di Gunung Welirang.
Foto di samping saya ambil tepat di tugu yang berada di tempat tertinggi di Gunung Lawu ini. Terlihat ada beberapa teman dari kampus UNS sedang duduk dan bercengkerama dengan kami.
Foto ini diambil ketika puncak sedang diselimuti kabut, sehingga gambar tidak terlalu jelas (alasan…ngomong saja kalau HPnya jelek he…).
Foto-foto di atas diambil ketika kami menolong salah satu pendaki yang pingsan di puncak. Yang jadi pertanyaan bagi kami, mengapa teman-2 pendaki yang pingsan tersebut tidak bisa menggotong, padahal jumlah mereka 30 orang. Di antara 30 orang tersebut terdapat beberapa tim SAR atau lebih tepat dipanggil senior dari pendaki yang pingsan tersebut.
Sepertinya kita harus berpisah dulu ya karena foto-2nya habis nih. Maklum pada waktu awal pendakian kami masih belum tertarik tentang fotografi. Setelah mengalami banyak pendakian sampai sekarang, sepertinya kami khususnya saya tertarik dengan fotografi. Semoga saja Ayah membeli kamera (upz…keceplosan, waduh kan Ayahku tahu situs/blog ini).
Salam rimba, Salam lestari (salamnya anak PA SMANSA Mojokerto), dan tetap lestarikan alam Indonesia.
Silahkan lanjut baca, jangan lupa komentarnya...
Cemoro Sewu, itulah jalur pendakian yang saya lewati bersama Ayah, Mas Heru, Mas Gatot, dan Mas Anas. Jalur yang masih berada di wilayah Jatim ini bersebelahan dengan jalur Cemoro Kandang yang berada di wilayah Jateng.
Untuk menuju kedua tempat ini, sobat bisa menuju ke tempat pariwisata Telaga Sarangan di Magetan, Jatim apabila sobat dari arah Jatim. Sayangnya kami tidak memiliki rencana untuk mengunjungi telaga tersebut, sehingga tidak ada koleksi fotonya.
Jika sobat memang berniat untuk mendaki atau sekedar berwisata ke daerah Cemoro Sewu atau Cemoro Kandang, maka jangan lupa untuk mencicipi sate kelinci yang khas. Kedua jalur tersebut berjarak tidak lebih dari satu kilometer, dan di depan serta diantara kedua jalur tersebut sobat bisa menikmati sate hewan pemakan sayuran tersebut di warung-2 pinggir jalan sambil menikmati pemandangan yang indah dan hawa dingin pegunungan.
Foto di samping diambil dalam perjalanan menuju puncak. Terlihat beberapa teman pendaki dari tim lain juga berusaha melewati jalur yang licin ini. Di jalur Cemoro Sewu ini, jalur sudah diberi fasilitas tatanan batu untuk memudahkan orang ritual, walaupun kami para pendaki tidak begitu suka dengan jalur yang sudah dimodifikasi.
Tidak seperti jalur Cemoro Kandang yang landai tapi panjang, jalur ini bersifat pendek tapi menanjak dan membutuhkan waktu 3,5-4 jam untuk mencapai puncak Hargo Dumilah, sebutan untuk puncak Gunung Lawu.
Berhubung kami sampai di puncak malam hari, maka langsung saja saya tampilkan foto di pagi hari. Foto tersebut adalah pemandangan yang indah dan asri di sekitar puncak Gunung Lawu.
Puncak Gunung Lawu berbeda dengan puncak Gunung-2 lain yang mengerucut, Gunung ini memiliki bentuk puncak yang panjang, sehingga sobat akan kebingungan untuk mencari daerah yang tertinggi. Untung saja ada penghuni warung yang memberitahu kita bahwa puncak berjarak 15 menit dari warung tersebut.
Tunggu, Tunggu, Warung??? Iya benar, di puncak Gunung ini kita bisa menemui warung yang menyediakan beberapa pengganjal perut. Salah satunya adalah warung milik Mbok Yem yang berlokasi paling dekat dengan puncak. Sebenarnya warung ini disediakan untuk para peziarah.
Jalur Cemoro Sewu ini memiliki beberapa keistimewaan salah satunya adalah memiliki banyak situs peninggalan kerajaan dahulu kala. Foto di atas adalah petilasan prabu Brawijaya V yang diberi nama Hargo Dalem.
Ini salah satu foto pemandangan juga yang berhasil kami jepret ketika dalam perjalanan pulang.
Kedua foto di atas adalah sumber air yang diberi nama Sendang Drajat. Jika sobat ingin melanjutkan perjalanan pulang, maka jangan lupa membawa air dari sini karena air akan kita dapatkan lagi ketika sampai di pos pendakian. Begitu juga apabila sobat mendaki, maka bawalah air dari pos karena air berikutnya akan ditemukan di sumber air ini.
Dalam perjalanan pulang, kami masih banyak menemukan situs-2 kerajaan seperti pada kedua foto di atas.
Foto-2 berikut ini kami ambil pada pendakian kedua kami. Kali ini saya berangkat bersama Ayah, Mas Heru, dan Mas Gemblung yang pernah berkenalan dan bertukar nomor HP dengan Ayah ketika bertemu di Gunung Welirang.
Foto di samping saya ambil tepat di tugu yang berada di tempat tertinggi di Gunung Lawu ini. Terlihat ada beberapa teman dari kampus UNS sedang duduk dan bercengkerama dengan kami.
Foto ini diambil ketika puncak sedang diselimuti kabut, sehingga gambar tidak terlalu jelas (alasan…ngomong saja kalau HPnya jelek he…).
Foto-foto di atas diambil ketika kami menolong salah satu pendaki yang pingsan di puncak. Yang jadi pertanyaan bagi kami, mengapa teman-2 pendaki yang pingsan tersebut tidak bisa menggotong, padahal jumlah mereka 30 orang. Di antara 30 orang tersebut terdapat beberapa tim SAR atau lebih tepat dipanggil senior dari pendaki yang pingsan tersebut.
Sepertinya kita harus berpisah dulu ya karena foto-2nya habis nih. Maklum pada waktu awal pendakian kami masih belum tertarik tentang fotografi. Setelah mengalami banyak pendakian sampai sekarang, sepertinya kami khususnya saya tertarik dengan fotografi. Semoga saja Ayah membeli kamera (upz…keceplosan, waduh kan Ayahku tahu situs/blog ini).
Salam rimba, Salam lestari (salamnya anak PA SMANSA Mojokerto), dan tetap lestarikan alam Indonesia.
Silahkan lanjut baca, jangan lupa komentarnya...
Monday, 3 November 2008
Parade Welirang, Arjuna-Welirang Jilid 1
Monday, 3 November 2008 . Labels: Arjuna-Welirang
. Parade Welirang, Arjuna-Welirang Jilid 1, judul ini saya buat karena foto-2 kesempatan kali ini saya gunakan untuk menampilkan pemandangan Gunung Welirang yang diambil dari dua waktu. Mengapa harus saya kumpulkan jadi satu? karena setiap pendakian ke sana saya hanya mampu memotret sedikit gambar.
Foto di samping adalah foto yang diambil dalam perjalanan di jalur Welirang. Pemandangan jauh tersebut memperlihatkan gagahnya Gunung Penanggungan. Saya rasa supaya adil, karena pada postingan yang lalu saya sudah memperlihatkan foto Gunung welirang yang diambil dari puncak Gunung Penanggungan.
Waduh Si Ayah ini, artikel baru dimulai sadah muncul saja.
Foto di atas diambil bukan karena salah satu dari kita kentut, tapi karena bau belerang yang sangat menyengat, sehingga hidung kami harus ditutup.
Wah ini nih yang "bahurekso"/penunggunya Welirang he...he...sorry mas heru, habis seperti hantu sih.
Jika sobat pembaca ingin mendaki atau sekedar ingin tahu bagaimana kehidupan para pencari belerang, maka sobat dapat mengetahuinya di pondok lirang seperti yang ditampilkan di samping.
Pondok ini dibuat seperti perkampungan yang berjajar rumahnya. Pondok-2 yang ada terbuat dari jerami, kayu, dan dedaunan yang ada di sekitar.
Lalu apa fungsinya pondok-2 tersebut? Fungsinya yang utama adalah digunakan untuk penginapan pencari belerang apabila mereka melakukan kegiatan. Selain itu, apabila para pendaki sedang turun untuk menyetor belerang yang didapatkan otomatis pondok mereka kosong. Kesempatan itulah yang digunakan para pendaki untuk bermalam jika mereka tidak membawa tenda atau sampai di tempat ini kemalaman.
Singkat cerita pada pagi harinya tim ekspedisi tanpa nama ini sampai di puncak gunung yang bertetangga dengan Gunung Arjuna. Sampai di puncak kok fotonya seperti lagi menunggu bus lewat???
Sepertinya Ayah dan Mas heru sedang tidak akur tuh karena malamnya mereka berdebat tentang siapa yang kentut he...he...cuma bercanda.
Ngomong-2 apa tidak sakit tuh pantat duduk di atas batu yang lancip dan hangat-2 panas. Oh iya, ngomong soal panas jika sobat berniat mendaki dan sampai di puncak, jangan sembarangan pegang batu karena beberapa di antaranya bersuhu lumayan tinggi.
Jadi sebaiknya sobat membawa sarung tangan atau apasaja yang bisa digunakan untuk melindungi telapak tangan dari panasnya batu.
Masih di tempat yang sama, Ayah sedang memberi wejangan kepada sepupu saya, Riska. Sepertinya tongkat yang dipegang itu tongkat wasiat.
"Hai muridku, jangan lupa untuk merahasiakan ilmu yang telah aku berikan"kata Empu Djawul.
"Baik guru, aku akan menyimpannya dengan baik-baik agar rahasia ini tidak bocor"jawab Ken Riska.
Kira-kira seperti itulah dialog sepasang guru dan murid yang berhasil saya rekam menggunakan recorder terbaik saat itu.
Lho kok kembali lagi ke pondok lirang? Maaf tadi lupa masang, kelewatan.
Si Riska ini apa tidak takut ditangkap polisi, kan UU Anti Pornografi dan Pornoaksi sudah disahkan oleh anggota DPR.
Mentang-mentang kulitnya terbuatnya dari kulit beruang, jadi tidak kedinginan. Ngemeng-ngemeng, eh salah ngomong-ngomong soal dingin, di tempat ini adalah salah satu tempat yang suhunya terasa menusuk tulang apabila matahari mulai tenggelam. Kira-kira sekitar pukul 4 sore hawa dingin sudah dapat kita rasakan. Jadi saya sarankan agar sobat sampai di tempat ini dan sudah mendirikan tenda sebelum pukul 5 sore.
Kembali ke posisi semula, yaitu di puncak. Di puncak kita bisa menemui banyak lubang yang mengeluarkan asap berwarna putih. Salah satunya seperti foto di samping.
Jika telapak tangan kita coba taruh di atasnya, maka 99,99% sobat akan menarik tangan karena suhunya lumayan panas.
Di puncak sobat akan menemui 2 kawah, yaitu kawah mati dan kawah yang masih aktif. Di dekat kawah yang masih aktif, kemungkinan sobat tidak akan betah berlama-lama, bahkan berfoto ria di sana. Alasannya suhu di sekitar kawah tersebut sangat menyengat dan membawa suasana "sumuk". Apa tuh sumuk? cari tahu saja artinya di paranormal paling laris di dunia "Mbah Google".
Sepertinya dari tadi saya menulis belum ada kalimat yang menyebutkan di mana kita akan mulai pendakian. Pendakian pada saat foto ini diambil dimulai dari jalur prigen, Pasuruan. Tepatnya sobat bisa cari terlebih dahulu tempat wisata Kakek Bodho atau hotel Surya (kalau tidak salah, maklum kan kami tidak ke hotelnya ).
Sepertinya badan saya mulai kedinginan nih karena sewaktu artikel ini ditulis, saya berada di posisi 200 derajat lintang selatan dan 180 derajat bujur timur he...he...ngawur banget. Yang benar posisi saya berada di perpustkaan STIKOMP Surabaya.
Namun jangan kecewa karena di bawah ini ada beberapa foto yang masih tersisa. Dan jangan khawatir karena masih banyak artikel yang layak dibaca dan lihat di blog ini. Saya juga mohon doa agar saya bisa terus memposting foto-2 yang saya punya karena masih banyak pengalaman saya yang belum dipublikasikan, seperti di Gunung Semeru, Lawu, Kelud, Penanggungan, dan kegiatan lintas alam yang lain.
Foto di samping adalah foto yang diambil dalam perjalanan di jalur Welirang. Pemandangan jauh tersebut memperlihatkan gagahnya Gunung Penanggungan. Saya rasa supaya adil, karena pada postingan yang lalu saya sudah memperlihatkan foto Gunung welirang yang diambil dari puncak Gunung Penanggungan.
Waduh Si Ayah ini, artikel baru dimulai sadah muncul saja.
Foto di atas diambil bukan karena salah satu dari kita kentut, tapi karena bau belerang yang sangat menyengat, sehingga hidung kami harus ditutup.
Wah ini nih yang "bahurekso"/penunggunya Welirang he...he...sorry mas heru, habis seperti hantu sih.
Jika sobat pembaca ingin mendaki atau sekedar ingin tahu bagaimana kehidupan para pencari belerang, maka sobat dapat mengetahuinya di pondok lirang seperti yang ditampilkan di samping.
Pondok ini dibuat seperti perkampungan yang berjajar rumahnya. Pondok-2 yang ada terbuat dari jerami, kayu, dan dedaunan yang ada di sekitar.
Lalu apa fungsinya pondok-2 tersebut? Fungsinya yang utama adalah digunakan untuk penginapan pencari belerang apabila mereka melakukan kegiatan. Selain itu, apabila para pendaki sedang turun untuk menyetor belerang yang didapatkan otomatis pondok mereka kosong. Kesempatan itulah yang digunakan para pendaki untuk bermalam jika mereka tidak membawa tenda atau sampai di tempat ini kemalaman.
Singkat cerita pada pagi harinya tim ekspedisi tanpa nama ini sampai di puncak gunung yang bertetangga dengan Gunung Arjuna. Sampai di puncak kok fotonya seperti lagi menunggu bus lewat???
Sepertinya Ayah dan Mas heru sedang tidak akur tuh karena malamnya mereka berdebat tentang siapa yang kentut he...he...cuma bercanda.
Ngomong-2 apa tidak sakit tuh pantat duduk di atas batu yang lancip dan hangat-2 panas. Oh iya, ngomong soal panas jika sobat berniat mendaki dan sampai di puncak, jangan sembarangan pegang batu karena beberapa di antaranya bersuhu lumayan tinggi.
Jadi sebaiknya sobat membawa sarung tangan atau apasaja yang bisa digunakan untuk melindungi telapak tangan dari panasnya batu.
Masih di tempat yang sama, Ayah sedang memberi wejangan kepada sepupu saya, Riska. Sepertinya tongkat yang dipegang itu tongkat wasiat.
"Hai muridku, jangan lupa untuk merahasiakan ilmu yang telah aku berikan"kata Empu Djawul.
"Baik guru, aku akan menyimpannya dengan baik-baik agar rahasia ini tidak bocor"jawab Ken Riska.
Kira-kira seperti itulah dialog sepasang guru dan murid yang berhasil saya rekam menggunakan recorder terbaik saat itu.
Lho kok kembali lagi ke pondok lirang? Maaf tadi lupa masang, kelewatan.
Si Riska ini apa tidak takut ditangkap polisi, kan UU Anti Pornografi dan Pornoaksi sudah disahkan oleh anggota DPR.
Mentang-mentang kulitnya terbuatnya dari kulit beruang, jadi tidak kedinginan. Ngemeng-ngemeng, eh salah ngomong-ngomong soal dingin, di tempat ini adalah salah satu tempat yang suhunya terasa menusuk tulang apabila matahari mulai tenggelam. Kira-kira sekitar pukul 4 sore hawa dingin sudah dapat kita rasakan. Jadi saya sarankan agar sobat sampai di tempat ini dan sudah mendirikan tenda sebelum pukul 5 sore.
Kembali ke posisi semula, yaitu di puncak. Di puncak kita bisa menemui banyak lubang yang mengeluarkan asap berwarna putih. Salah satunya seperti foto di samping.
Jika telapak tangan kita coba taruh di atasnya, maka 99,99% sobat akan menarik tangan karena suhunya lumayan panas.
Di puncak sobat akan menemui 2 kawah, yaitu kawah mati dan kawah yang masih aktif. Di dekat kawah yang masih aktif, kemungkinan sobat tidak akan betah berlama-lama, bahkan berfoto ria di sana. Alasannya suhu di sekitar kawah tersebut sangat menyengat dan membawa suasana "sumuk". Apa tuh sumuk? cari tahu saja artinya di paranormal paling laris di dunia "Mbah Google".
Sepertinya dari tadi saya menulis belum ada kalimat yang menyebutkan di mana kita akan mulai pendakian. Pendakian pada saat foto ini diambil dimulai dari jalur prigen, Pasuruan. Tepatnya sobat bisa cari terlebih dahulu tempat wisata Kakek Bodho atau hotel Surya (kalau tidak salah, maklum kan kami tidak ke hotelnya ).
Sepertinya badan saya mulai kedinginan nih karena sewaktu artikel ini ditulis, saya berada di posisi 200 derajat lintang selatan dan 180 derajat bujur timur he...he...ngawur banget. Yang benar posisi saya berada di perpustkaan STIKOMP Surabaya.
Namun jangan kecewa karena di bawah ini ada beberapa foto yang masih tersisa. Dan jangan khawatir karena masih banyak artikel yang layak dibaca dan lihat di blog ini. Saya juga mohon doa agar saya bisa terus memposting foto-2 yang saya punya karena masih banyak pengalaman saya yang belum dipublikasikan, seperti di Gunung Semeru, Lawu, Kelud, Penanggungan, dan kegiatan lintas alam yang lain.
No comments:
Post a Comment